Langsung ke konten utama

Postingan

Pendapat Saya Tentang Film Materialists (2025)

Saya nonton Materialists di bioskop Transmart Setiabudi pada Sabtu siang 23 Agustus 2025.   Dan menurut saya ini film paling personal yang pernah saya tonton tahun ini.    Saya coba ceritakan kenapa, sambil menghindari spoiler soal isi filmnya.   Film ini terasa personal dan sangat menohok. Sangat erat dengan keadaaan saya : perempuan, umur 30an, masih lajang, dan masih membayangkan bahwa kelak sepertinya saya pun akan mati dalam kondisi jomblo. (Yeah, I know some of you are smirking right now. Nggak apa-apa. Saya pun juga sepanjang film nyengir. Anjrit, ini film sengaja dibuat untuk saya atau gimana, nih).   Dakota Johnson dalam penampilannya yang chic berperan sebagai Lucy, seorang matchmaker alias mak comblang, tapi klien-kliennya dari kalangan orang mampu. Jadi bukan biro jodoh seperti yang ada di majalah atau aplikasi berisi orang dari setiap kalangan. Ini biro jodoh yang membership bulanannya aja udah ribuan dollar. Dan Lucy juga bukan mak comblang baru. ...

Kebahagiaan-kebahagiaan Kecil

 - lagi berkendara naik ojek, ketika sampai di perempatan lampu lalu lintas, eh lampunya pas nyala hijau. - mau buang sampah kertas ke tempat sampah yang letaknya beberapa langkah dari meja kita. Pas nyoba lembar, wuihh... lemparannya berhasil masuk pas ke tempat sampah. Berasa kayak Kareem Abdul-Jabbar lagi cetak skor. - di dalam bus, nyalain playlist Spotify secara acak, eh yang muncul keputar pertama adalah lagu favorit. - aroma tanah dan jalanan yang basah tersiram hujan setelah panas seharian. Iya, petrichor namanya. - turun dari bus, papasan sama strangers laki-laki maupun perempuan, lempar senyum tipis secara sopan, dan mereka senyum balik. - posting sesuatu di Whatsapp stories, terus dapat like (love) dari orang yang kebetulan saya taksir. Ciyee..ciyee.. - Menyeduh kopi dengan air panas mendidih. Oh, that aroma and that first sip are just perfect. - Pesan sesuatu dari online shop dan barangnya sampai lebih cepat dari estimasi. - Pengen banget nyoba makan sesuatu yang baru, ...

Ulasan Film : Weapons (2025)

Baik, langsung saja. Ini catatan saya tentang film Weapons, film horor yang saya tonton di hari Sabtu 9 Agustus 2025 di Paragon XXI Semarang, tepatnya di studio 1 yang sudah pakai Dolby Atmoss. Film horor yang tadinya sudah pakai scoring khas buat nakut-nakutin penonton jadi semakin maksimal efeknya. Kalau mau tambah mantap, kalian kudu nonton di IMAX, sih.   - Film ini buatan New Line Cinema, yang juga memproduksi The Conjuring dan The Nun. Sutradaranya Zach Cregger, yang juga bikin Barbarian tahun 2022. Denger-denger sih bagus. Saya nggak nemu film Barbarian ini di Prime atau Catchplay. Kayaknya ada di koleksi Netflix.  - Ngomong-ngomong soal The Conjuring, installment ini akan dilanjut dan film terbarunya 'The Last Rite' akan tayang September 2025. Saya nggak mungkin absen. Harus nonton.  Dan untuk menyambut film The Conjuring : The Last Rite, pihak bioskop memutar ulang film-film The Conjuring sebelumnya: mulai dari misteri rumah keluarga Perron, Enfield Poltergeist s...

Catatan Tentang Film Ballerina (from the world of John Wick) - 2025

Saya nonton film Ballerina tanggal 7 Juni 2025, maraton dengan film Gowok. Ballerina adalah salah satu film yang saya tunggu kemunculannya di bioskop tahun 2025, yang diangkat dari salah satu karakter pendukung di film John Wick 3 : Para bellum.  Ini menarik, karena ballerina sebetulnya adalah tokoh tanpa nama yang hanya muncul sekelebat di film John Wick, yaitu ketika John Wick (atau Jardani Jovonovich) menemui pimpinan organisasi Ruska Roma.  Di atas panggung, kalau kamu ingat adegan ini, ada seorang ballerina (yang nama panggilannya Rooney) sedang melakukan pirouette berulang-ulang sampai jatuh, kemudian bangkit lagi, pirouette lagi, jatuh lagi, sampai kakinya berdarah-darah (saya nggak tau lagu apa yang dimainkan di adegan ini, tapi kayaknya bukan Dance of the Sugarplum Fairy dari Tchaikovsky - kalo ini sih, saya familiar banget ). Kemudian John Wick dan pimpinan Ruska Roma menaiki tangga ke ruangan lain, dan sempat berpapasan dengan murid-murid lain di akademi ballet in...

Ulasan Film Gowok : Kamasutra Jawa (2025)

Ketika tulisan ini saya unggah di blog, film Gowok sudah tidak tayang lagi di bioskop.  Film karya Hanung Bramantyo ini bertahan 28 hari di bioskop kota Semarang. Rating film-nya 21+ jadi ekspektasi saya filmnya akan mengekspos sensualitas, karena arti kata ' gowok ' adalah ehem, perempuan dewasa yang akan mengajarkan laki-laki bagaimana cara memuaskan pasangan mereka. Dan yang saya tonton adalah versi uncut. Hmm, hmm. A grown up woman giving (literally) sex education to young man. Yeah, bring it on, baby. Itu ekspektasi awal saya, ketika saya nonton film ini pada hari Sabtu, 7 Juni 2025 di Paragon Mall.   Dan saya keliru.   Gowok dibuka dengan adegan berdarah-darah, ketika seorang perempuan membawa parang dengan penuh amarah menyerang laki-laki yang kemudian kita tahu adalah suaminya sendiri. Tidak cukup di situ, perempuan itu juga membantai perempuan lain yang beberapa menit lalu tampak di layar sedang bercinta dengan suaminya. Oh ini drama pelakor yah , batin saya...

Ulasan film : The Phoenician Scheme (2025)

  Wes Anderson, at last! Akhirnya saya kesampaian nonton film karya Wes Anderson di bioskop Indonesia! Now I can scratch that off my bucket list. Haha! Kenapa saya bersemangat? Karena sepengetahuan saya belum pernah ada satu pun film Wes Anderson yang ditayangkan di bioskop Indonesia, sejak Rushmore sampai Asteroid City. Saya tidak berlangganan platform streaming, jadi tidak tahu apakah film-film Wes Anderson ada di Netflix, HBO, atau Disney. Kalau pun ada, saya juga belum pernah nonton karena bagi saya film dari sutradara auteur seperti itu harus ditonton di layar besar, bukan layar ponsel atau gawai lain. Tapi meski belum pernah menonton karya filmnya, saya toh membaca beberapa artikel di internet dan cuitan tentang gaya khas Wes Anderson di film-film buatannya, yaitu : Pengaturan komponen visual (aktor, benda-benda, latar belakang) secara simetris. Nuansa warna palet. Ekspresi katakter filmnya yang nyaris tanpa senyum dan dialog yang kaku, tapi masih terasa kocak. Pada hari Sabt...

Ulasan Film : Bring Her Back (2025)

  Halo, kembali lagi di segmen Deview  alias Devi memberi review (iya, memang singkatan yang kurang catchy, makanya saya jarang pakai). Hari Jumat 6 Juni 2025 saya nonton film Bring Her Back. Bring Her Back adalah film horor tentang dua orang kakak-beradik (mereka saudara tiri) yang setelah ayah mereka meninggal kemudian mereka diadopsi oleh seorang konselor yang agak eksentrik namun ternyata menyimpan rahasia mencurigakan setelah ditinggal mati anaknya. Satu kata dalam Bahasa Inggris untuk mewakili film Bring Her Back :  disturbing.  Filmnya mengusik rasa nyaman, mulut saya beberapa kali menganga melihat kengerian yang ditampilkan di layar. Film ini diproduksi oleh A24, yang sebelumnya memproduksi film horror pujaan so-called sinefil  Twitter : Hereditary dan Midsommar. Jika di film Hereditary penonton menjadi saksi Toni Collette sebagai ibu yang jiwanya terguncang, dan di film Midsommar ada Florence Pugh yang mentalnya tidak stabil, sekarang di Bring Her Back ...

Sebuah Saran Tentang Memilih Posisi Tempat Duduk di Bioskop

Ketika menonton film di bioskop, saya hampir selalu duduk di baris tengah : baris F, G, atau H. Untuk nomer kursi, saya lebih sering pilih yang dekat lajur jalan  (aisle)  supaya gampang aksesnya. Pengecualian kalau saya nonton film di teater IMAX, atau di teater berkapasitas besar, atau kebetulan sedang nonton film 3D, maka saya akan pilih nomer kursi di tengah. Rata-rata kursi di teater adalah nomer 1-22. Saya akan pilih kursi nomer 11 atau 12. Itu kalau saya. :))) Beberapa tahun lalu saya baca cuitan di akun Twitter Yohan Arie ( username : [at] aerorun ) tentang posisi ideal ketika menonton film di bioskop, terutama jika kita ingin menguji kualitas gambar. Mas Yohan menulis cuitan itu dari Insta-stories Arief Retno Pribadi, seorang sinematografer atau Director of Photography yang cukup ternama di industri perfilman Indonesia (akun Instagram: ariefdop). Berikut ini saya simpulkan isi dari postingan tersebut : 1. Jika menonton film Hollywood , pilihlah deretan tempat duduk se...

Nrimo ing fandom

Nama saya Devi Okta, dan saya tidak punya fanatisme terhadap musik atau lagu tertentu. Perkara musik, saya ini moderat. Kriteria lagu kesukaan saya itu ada dua : musiknya enak di telinga saya dan liriknya pas di hati saya. Wis, ngono tok. Jadi saya tidak punya pantangan atau alergi dengan musik apapun. Mungkin karena inilah saya bisa mudah membaur dengan topik pembicaraan soal musik. Minimal saya paham siapa-siapa pelakunya atau setidaknya tahu satu judul lagunya. Kalau di warung Pak Muk dan Bu Is (warung makan di depan pabrik saya bekerja) kebetulan ada yang karaoke, saya dengan mudah nimbrung karena tau lagu yang dinyanyikan. Bagi saya, fanatisme terhadap musik itu hanya menyempitkan pikiran dari hal-hal baru, karena musik itu produk budaya yang terus mengalir dan terus tercipta. Orang yang tidak suka lagu campursari Jawa sama sekali, dia tidak bisa menikmati syahdunya Lingsir Wengi dan Ketaman Asmara. Orang yang tidak suka musik pop The Beatles, pasti tidak bisa paham betapa nelangs...

Ulasan Film : How To Make Millions Before Grandma Dies (2024)

Sore itu saya agak terlambat masuk studio 1 Transmart Setiabudi XXI untuk menonton film berbahasa Thailand ini pada hari Sabtu sore, 18 Mei. Judul filmnya Lahn Mah atau dalam versi Bahasa Inggris "How To Make Millions Before Grandma Dies." Ketika saya akhirnya duduk di seat K9, adegan di layar mempertontonkan sebuah keluarga sedang berkumpul di atas makam sambil membawa beberapa uborampe : dupa, kelopak bunga, jeruk, dan sesajen lain. Ini namanya Qing Ming atau tomb-sweeping festival. Keluarga datang ke makam leluhur mereka untuk bersih-bersih makam, karena makam yang terpelihara dengan baik akan membawa rejeki dan kemakmuran bagi keluarga yang masih hidup. Setelah sebuah insiden di pemakaman, keluarga akhirnya tau bahwa nenek mereka mengidap kanker dan divonis hidupnya hanya akan bertahan setahun. Pada sepertiga durasi film, Lahn Mah terasa bagai film slice-of-life kebanyakan.  Fragmen keseharian keluarga keturunan Tionghoa di Thailand tanpa polesan drama yang berlebih. Didu...